Kamis, 24 Januari 2019

Tugas Epidemiologi Penyakit Tidak Menular "Cedera Kepala" FKM USU


Assalamualaikum readers..
Long Time No See gak sii..
So, Today aku mau share beberapa tugas selama perkuliahan di FKM USU gak banyak sih, but semoga bisa membantu kalian.

Btw, gua terlalu sibuk jadi gak sempat untuk banyak post dan memperhatikan beberapa hal. Contoh kaya biodata yang belum gue perbaiki sejak 4 tahun lalu hahaha, semoga selanjutnya gue akan jauh lebih sering lagi menulis... doain ya guyss

Ok langsung aja nih adalah tugas gue saat semester 3, lagi dan lagi tentang Epidemiologi. BUT, kalian harus tahu yaaaaa aku itu peminatanya tuh KESEHATAN LINGKUNGAN wkwkwkw.




TUGAS KELOMPOK
EPIDEMIOLOGI PENYAKIT TIDAK MENULAR
“ CEDERA KEPALA ”

Oleh :
Heny Togatorop (161000199)
Miftahurrahmah El Hayatli (161000315)
Fanoi Iman Kristian T. (161000251)
Togar Muhammad Reyza Sagala  (161000136)
Apnila Putri Saragih (161000176)
Canra Herianto Manurung  (161000223)


FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
2017





______________________________________________________________




KATA PENGANTAR


          Alhamdulillah puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat serta karunia-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan tugas Epidemiologi Penyakit Tidak Menular yang berjudul “ Cedera Kepala ”. Shalawat beserta salam kami hadiahkan kepada nabi besar kita Muhammad SAW yang telah membawa kita dari alam yang gelap gulita menuju alam terang benderang seperti saat ini.
     Pada kesempatan ini tak lupa kami mengucapkan terima kasih banyak kepada ibu dr. Fazidah A. Siregar MKes, PhD sebagai dosen Epidemiologi Penyakit Tidak Menular kami yang telah memberikan bimbingan dalam menyelesaikan tugas ini, serta begitu pula kepada semua pihak yang telah memberi penulis bantuan dan wawasan baik itu secara langsung maupun tidak langsung. Semoga Allah SWT senantiasa meridhai segala usaha kita.
          Kami menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam penyusunan tugas ini, oleh karena itu kami memohon maaf apabila terdapat kesalahan kata-kata yang kurang berkenan, kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun selalu kami harapkan.
Diharapkan dalam rangka menambah wawasan serta pengetahuan, tugas ini dapat bermanfaat bagi kita semua untuk memberikan informasi mengenai cedera kepala. Semoga tugas sederhana ini dapat dipahami bagi siapapun yang membacanya.

Wassalamualaikum wr.wb




                                                                                  Medan, 18 Oktober 2017


                                                                                                            Penulis
________________________________________________________________________________

DAFTAR ISI
Kata Pengantar .................................................................................................. i
Daftar Isi ........................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN
1.1    Latar Belakang ................................................................................... 1
1.2    Rumusan Masalah .............................................................................. 2
1.3    Tujuan ................................................................................................ 2
1.4    Manfaat .............................................................................................. 3
BAB II PEMBAHASAN
2.1    Definisi Cedera Kepala...................................................................... 4
2.2    Epidemiologi Cedera Kepala............................................................. 4
2.3    Etiologi Cedera Kepala...................................................................... 7
2.4    Klasifikasi Cedera Kepala.................................................................. 8
2.4.1   Klasifikasi Berdasarkan Tingkat Keparahan............................ 8
2.4.2   Klasifikasi Berdasarkan Pathoanatomic................................ 10
2.4.3   Klasifikasi Berdasarkan Mekanisme Fisik..............................10
2.5    Patogenesis & Patofisiologi……………........................................ 10
2.5.1   Cedera Otak Primer……………….........................................10
2.5.2     Cedera Otak Sekunder….........................................................11
2.5.3     Patofisiologi Cedera Kepala Secara Umur...............................11
2.6    Faktor Resiko Cedera Kepala …………………..............................12
2.7    Manifestasi Klinis ( cedera kepala ringan dan berat....................13
2.8    Pemeriksaan Diagnostik……………………...................................19
BAB III PENUTUP
3.1    Kesimpulan...................................................................................... 20
3.2    Saran................................................................................................ 20
Daftar Pustaka………………………….......………………..…................... 21

 

_______________________________________________________________________________







BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
          Cedera kepala (trauma capitis) adalah suatu gangguan traumatik dari fungsi otak yang disertai atau tanpa disertai perdarahan interstitial dalam substansi otak tanpa diikuti terputusnya kontinuitas otak, cedera kepala merupakan cedera mekanik yang secara langsung atau tidak langsung mengenai kepala yang mengakibatkan luka dikulit kepala, fraktur tulang tengkorak, robekan selaput otak, dan kerusakan jaringan otak itu sendiri serta mengakibatkan gangguan neurologis. Hal ini merupakan salah satu penyebab kematian dan kecacatan utama pada kelompok usia produktif dan sebagian besar terjadi akibat kecelakaan lalu lintas, jatuh/tertimpa benda berat, serangan/kejahatan, pukulan keras, tembakan dan pergerakan mendadak sewaktu olahraga. Secara garis besar cedera kepala di bagi menjadi cedera kepala ringan,sedang dan berat.
          Diperkirakan 100.000 orang meninggal setiap tahunnya akibat cedera kepala, dan lebih dari 700.000 mengalami cedera cukup berat yang memerlukan perawatan dirumah sakit. Pada kelompok ini antara 50.000 -90.000 orang setiap tahun mengalami penurunan intelektual atau tingkah laku yng menghambat kembalinya mereka menuju kehidupan normal.
          Berdasarkan hasil Riset Kesehatan dasar (RISKESDES) tahun 2013, jumlah data yang dianalisis seluruhnya 1.027.758 orang untuk semua umur. Adapun responden yang pernah mengalami cedera sebanyak 84.774 orang dan sebanyak 34.409 orang cedera kepala diakibatkan karena kecelakaan transportasi. Prevalensi cedera secara nasional adalah 8,2 %, prevalensi tertinggi ditemukan di Sulawesi Selatan yaitu12,8 % dan terendah di Jambi sebesar 4,5 %. Berikut ini disajikan kecenderungan prevalensi cedera dan penyebabnya di Indonesia pada tahun 2007 dan 2013. 

           
Dari gambar diatas dapat disimpulkan bahwa penyebab cedera yang paling besar adalah kecelakaan transportasi darat sebanyak 47,7 % dan ini mengalami kenaikan dari tahun 2007 (lihat tabel).
Prevalensi cedera tertinggi berdasarkan karakteristik responden yaitu pada kelompok umur 15-24 tahun (11,7 %), laki-laki (10,1 %), pendidikan tamat SMP/MTS (9,1 %), yang tidak bekerja atau bekerja sebagai pegawai (8,4 %), dan bertempat tinggal di perkotaan (8,7%).

1.2 Rumusan masalah
   1. Apa pengertian dan klasifikasi dari cedera kepala?
   2. Bagaimana epidemiologi dan etiologi dari cedera kepala ?
   3. Bagaimana patofisiologi dan patogenesis cedera kepela ?

1.3 Tujuan
a. Tujuan Umum
            Pembaca diharapkan dapat mengenali gejala cederakepala dengan cepat dan dapat melakukan pencegahan pada faktor yang beresiko dan juga pengobatan pada penderita cedera kepala
b. Tujuan Khusus
1.                   Pembaca diharapkan dapat mengaplikasikan pencegahan cedera
kepala yang dimulai dari diri sendiri untuk mengurangi jumlah penderita
2.                   Pembaca diharapkan semakin peduli terhadap lingkungan sekitar baik
dalam pekerjaan atau tidak yang dapat membahayakan diri sendiri.


1.4 Manfaat
Makalah ini diharapkan dapat membantu pembaca untuk mengetahui lebih dalam lagi mengenai cedera kepala baik dalam gejala, faktor risiko, pencegahan dan juga pengobatan. 


BAB II
PEMBAHASAN

2.1  Definisi Cedera Kepala

Cedera kepala dapat disebut juga dengan head injury ataupun traumatic brain injury. Kedua istilah ini sebenarnya memiliki pengertian yang sedikit berbeda. Head injury merupakan perlukaan pada kulit kepala, tulang tengkorak, ataupun otak sebagai akibat dari trauma. Perlukaan yang terjadi dapat mengakibatkan terjadinya benjolan kecil namun dapat juga berakibat serius (Heller, 2013). Sedangkan, traumatic brain injury merupakan gangguan fungsi otak ataupun patologi pada otak yang disebabkan oleh kekuatan (force) eksternal yang dapat terjadi di mana saja termasuk lalu lintas, rumah, tempat kerja, selama berolahraga, ataupun di medan perang (Manley dan Mass, 2013). Head injury merupakan istilah yang lebih luas dari traumatic brain injury. Tidak adanya konsensus yang mengatur tentang definisi yang tepat menyebabkan terjadinya tumpang tindih ini (Williams, 2004).

Cedera kepala disebut-sebut terjadi sebagai hasil dari interaksi antara seorang individu dengan agen eksternal seperti kekuatan mekanis (Reilly dan Bullock, 2005). Cedera kepala merupakan fenomena klinis yang kompleks dengan klasifikasi, perjalanan penyakit (clear natural history), ataupun kriteria diagnostik patologi anatomi yang kurang jelas (Raji, dkk, 2014). Menurut Dawodu (2013), cedera kepala merupakan gangguan pada otak yang bukan diakibatkan oleh suatu proses degeneratif ataupun kongenital, melainkan suatu kekuatan mekanis dari luar tubuh yang bisa saja menyebabkan kelainan pada aspek kognitif, fisik, dan fungsi psikososial seseorang secara sementara ataupun permanen dan berasosiasi dengan hilangnya ataupun terganggunya status kesadaran seseorang.

2.2 Epidemiologi Cedera Kepala

Insidensi cedera kepala di seluruh dunia cenderung untuk terus meningkat. Kejadian ini berhubungan dengan meningkatnya penggunaan kendaraan bermotor yang terlihat jelas pada negara-negara yang berpendapatan rendah dan menengah (Roozenbeek, Maas, dan Menon, 2013). Menurut WHO, kejadian cedera kepala akan melebihi kejadian berbagai penyakit lainnya dalam menyebabkan kematian dan kecacatan pada tahun 2020. Beban akibat cedera kepala ini terutama tampak jelas pada negara-negara berpendapatan rendah dan menengah. Sebab, di negara-negara ini terdapat banyak faktor risiko yang dapat mendorong terjadinya cedera kepala. Hal ini semakin diperparah oleh ketidaksiapannya sistem kesehatan di negara-negara tersebut (Hyder, dkk, 2007).

Insidensi cedera kepala secara global diperkirakan sekitar 200 per 100.000 orang setiap tahunnya. Namun, angka tersebut dianggap bukanlah suatu angka yang pasti dan merupakan angka yang underestimated (Bryan-Hancock dan Harrison, 2010). Data yang diperoleh dari Center of Disease Control and Prevention (CDC) menunjukkan bahwa kejadian cedera kepala di Amerika Serikat adalah sekitar 1,7 juta kasus setiap tahunnya (Roozenbeek, Maas, dan Menon, 2013). Di Eropa, cedera kepala yang diterima di rumah sakit adalah sekitar 235 kasus per 100.000 orang setiap tahunnya (Tagliaferri, dkk, 2006). Insidensi cedera kepala di Afrika Selatan adalah sekitar 310 kasus per 100.000 orang setiap tahunnya (Roozenbeek, Maas, dan Menon, 2013). Pada tahun 2004, terdapat sekitar 14.948 kasus cedera kepala yang diterima di 77 rumah sakit di Negara China Timur (Wu, dkk, 2008).

Di Indonesia, penelitian mengenai insidensi cedera kepala masih sangat minim sehingga angka kejadian cedera kepala di Indonesia masih belum dapat ditentukan.Di RSUP Haji Adam Malik Medan tercatat sekitar 1.627 kasus cedera kepala terjadi pada tahun 2010 (Indharty, 2012). Di RSUD dr. Pirngadi Medan dijumpai 1.095 kasus cedera kepala pada tahun 2002 dengan jumlah kematian 92 orang (Nasution, 2010).
Cedera kepala menjadi penyebab utama kematian orang dewasa yang berusia dibawah 45 tahun dan pada anak-anak berusia 1 sampai 15 tahun (Sharples, dkk, 1990). Kasus cedera kepala terbanyak merupakan cedera kepala derajat ringan (Thornhill, dkk, 2000). Pasien dengan cedera kepala ringan memiliki prognosis yang baik bila penanganan dilakukan dengan baik pula.

Secara kesuluruhan angka kematian pada pasien-pasien cedera kepala ringan adalah sekitar 0,1% dan paling sering disebabkan oleh perdarahan intrakranial yang tidak terdiagnosa. Walaupun banyak pasien cedera kepala ringan yang dapat kembali bekerja, namun sekitar 50% dari pasien ini memiliki disabilitas sedang sampai berat bila diukur dengan Glasgow Outcome Scale (GOS) atau Disability Outcome Scale (DOS). Hal ini menunjukkan bahwa cedera kepala ringan pun memiliki morbiditas yang signifikan (Moppett, 2007).

Pada pasien-pasien yang mengalami cedera kepala yang lebih parah, prognosisnya jauh lebih buruk. Sekitar 30% dari pasien yang diterima di rumah sakit dengan Glasgow Coma Scale (GCS) <13 akhirnya akan meninggal. Mortalitas pasien-pasien dengan GCS≤ 8 setelah dilakukan resusitasi adalah sekitar 50%. Pasien-pasien yang diterima di rumah sakit dengan GCS ≤ 12, sekitar 8% pasien tersebut akan meninggal dalam 6 jam pertama, dan 2% akan meninggal dalam 1 jam pertama. Manifestasi jangka panjang pasien-pasien dengan cedera kepala berat jauh lebih buruk disbanding dengan pasien dengan cedera kepala ringan. Hanya sekitar 20% pasien dengan cedera kepala berat dapat pulih dengan baik diukur dengan GOS (Moppett, 2007).
Menurut Centers for Disease Control and Prevention's National Center for Injury Prevention and Control, statistik tahunan berikut berlaku di Amerika Serikat:
·                 Setidaknya 1,4 juta orang memgalami cedera kepala
·                 Sekitar 50.000 orang meninggal karena cedera kepala
·                 Sekitar 475,000 cedera kepala terjadi di antara bayi, anak-anak, dan
remaja berusia 0-14 tahun.
·                 Sekitar 80,000-90,000 orang mengalami terjadinya cacat jangka
panjang karena cedera kepala
Kelompok berikut berada pada risiko tertentu untuk cedera kepala:
·                 Laki-laki dua kali lebih mungkin daripada perempuan untuk
mengalami cedera kepal
·                 Bayi dan anak-anak berusia 0-4 dan remaja usia 15-19 tahun adalah 2
kelompok umur pada risiko tertinggi untuk cedera kepala
·                 Orang dewasa berusia 75 tahun atau lebih memiliki tingkat tertinggi
rawat inap dan kematian terkait cedera kepala
Sebuah head injury disebabkan oleh kekuatan yang berlebihan, pukulan, atau cedera tembus ke kepala. Penyebab utama TBI adalah sebagai berikut:
·                 Terjun (28%)
·                 Kecelakaan kendaraan bermotor (20%)
·                 Disambar atau terhadap benda (19%)
·                 Penyerangan (11%)

Tingkat mortalitas setelah cedera otak paling tinggi pada orang dengan cedera parah. Pada tahun pertama setelah cedera kepala, orang yang bertahan hidup lebih mungkin untuk meninggal akibat kejang, septikemia, pneumonia, gangguan pencernaan, dan semua penyebab eksternal cedera daripada orang lain dari usia yang sama, jenis kelamin, dan ras. Namun, angka kematian akibat cedera kepala parah telah menurun sejak akhir abad ke-20.
Dalam satu studi, peneliti memperkirakan bahwa beban ekonomi akibat cedera kepala di Amerika Serikat adalah sekitar $ 37800000000 pada tahun 1985. Perkiraan ini termasuk $ 4,5 miliar belanja langsung untuk perawatan rumah sakit, perawatan diperpanjang, dan perawatan dan pelayanan medis lainnya,. $ 20600000000 kerugian yang berhubungan dengan pekerjaan dan cacat, dan US $ 12.7 milyar pada pendapatan yang hilang dari kematian dini.
Angka di Australia baru menunjukkan ada sekitar 150 pasien per 100.000 penduduk dirawat di rumah sakit setiap tahun dengan cedera kepala tertutup.
Angka di seluruh dunia menunjukkan berbagai kejadian 200-350 per 100.000 penduduk per tahun untuk pasien dengan cedera kepala tertutup dengan cedera kepala ringan dengana kutansi 80%.

2.3 Etiologi Cedera Kepala

Menurut Hyder, dkk (2007), penyebab cedera kepala yang paling sering dialami di seluruh dunia adalah akibat kecelakaan lalu lintas. Sekitar 60% dari kasus cedera kepala merupakan akibat dari kelalaian dalam berlalu lintas, 20 sampai 30% kasus disebabkan oleh jatuh, 10% disebabkan oleh kekerasan, dan sisanya disebabkan oleh perlukaan yang terjadi di rumah maupun tempat kerja
Cedera kepala dapat disebabkan oleh dua faktor, yaitu :
1.      Trauma Primer, terjadi akibat trauma pada kepala secara langsung maupun tidak langsung (akselerasi dan deselerasi).
2.      Trauma Sekunder, terjadi akibat trauma saraf (melalui akson) yang meluas, hipertensi intracranial, hipoksia, hiperkapnea, atau hipotensi sistemik (Sibuea, 2009).

2.4 Klasifikasi Cedera Kepala

Terdapat beberapa macam klasifikasi cedera kepala dimulai dari klasifikasi berdasarkan tingkat keparahannya sampai dengan klasifikasi cedera kepala berdasarkan patofisiologinya. Namun demikian, terdapat tiga sistem klasifikasi yang umum digunakan, yaitu :
1.      Klasifikasi berdasarkan tingkat keparahannya, klasifikasi ini seringkali
      digunakan untuk kepentingan penelitian klinis.
2.      Klasifikasi berdasarkan tipe pathoanatomic-nya, klasifikasi ini terutama
      digunakan untuk menentukan penanganan pasien cedera kepala pada
      fase akut.
3.      Klasifikasi berdasarkan mekanisme terjadinya cedera kepala, klasifikasi
      ini paling sering digunakan untuk kepentingan pencegahan (Saatman,
      dkk, 2008).

2.4.1  Klasifikasi Berdasarkan Tingkat Keparahan

Sampai saat ini, penelitian mengenai penanganan pasien-pasien dengan cedera kepala dilakukan berdasarkan pada kriteria tingkat keparahan kerusakan neurologis (neurologic injury severity criteria) pasien tersebut. Skala pengukuran yang paling sering digunakan untuk mengukur tingkat keparahan kerusakan neurologis pada orang dewasa adalah GCS. Dasar dari pernyataan tersebut adalah, GCS memiliki realibilitas inter-observer dan kapabilitas dalam menentukan prognostik pasien yang baik (Saatman, dkk, 2008).
GCS dibuat oleh Jennet dan Teasdale pada tahun 1974. Selain digunakan untuk menafsirkan tingkat kesadaran dan prognosis penderita cedera kepala, GCS juga dapat dipakai untuk menilai kelainan neurologis secara kuantitatif serta dapat digunakan secara umum untuk mendeskripsikan keparahan pasien-pasiencedera kepala.Nilai GCS dapat diperoleh dengan cara memeriksa kemampuan membuka mata, motorik, dan verbal pasien. Masing-masing komponen pemeriksaan memiliki nilai tertinggi sebesar 4,6, dan 5.Berdasarkan GCS, cedera kepala dapat dikategorikan menjadi cedera kepala ringan (GCS 14 – 15), cedera kepala sedang (GCS 9 – 13), dan cedera kepala berat (GCS 3 – 8) (Sibuea, 2009).

Tabel 2.4 Glasgow Coma Scale (Teasdale dan Jannet, 1974)

Assesment Area
Score
Eye Opening ( E )

Spontaneus
4
To speech
3
To pain
2
None
1
Motor Response ( M )

Obey command
6
Localized pain
5
Normal Flexion
4
Abnormal flexion
3
Abnormal extension
2
None
1
                                                       

Verbal Response ( V )

Oriented
5
Confused conversation
4
Inappropriate word
3
Incomprehenble sound
2
None
1

2.4.2  Klasifikasi Berdasarkan Pathoanatomic

Klasifikasi pathoanatomic menunjukkan lokasi atau ciri-ciri anatomis yang mengalami abnormalitas. Fungsi klasifikasi ini adalah untuk terapi yang tepat sasaran. Kebanyakan pasien dengan trauma yang parah akan memiliki lebih dari satu jenis perlukaan bila pasien diklasifikasikan menggunakan metode ini. Penilaian dilakukan dimulai dari bagian luar kepala hingga ke dalam untuk melihat tipe perlukaan yang terjadi dimulai dari laserasi dan kontusio kulit kepala, fraktur tulang tengkorak, perdarahan epidural, perdarahan subdural, perdarahan subaraknoid, kontusio dan laserasi otak, perdarahan intraparenkimal, perdarahan intraventrikular, dan kerusakan fokal maupun difus dari akson. Masing-masing dari entitas tersebut dapat dideskripsikan lebih jauh lagi meliputi seberapa luas kerusakan yang terjadi, lokasi, dan distribusinya (Saatman, dkk, 2008).

2.4.3 Klasifikasi Berdasarkan Mekanisme Fisik

Cedera kepala dapat diklasifikasikan berdasarkan pada apakah kepala menabrak secara langsung suatu objek (contact or “impact” loading) ataupun otak yang bergerak di dalam tulang tengkorak (noncontact or “inertial” loading)
dan akhirnya menimbulkan cedera. Arah dan kekerasan pada kedua tipe perlukaan tersebut dapat menentukan tipe dan keparahan suatu trauma. Klasifikasi berdasarkan mekanisme fisik ini memiliki manfaat yang besar dalam mencegah terjadinya cedera kepala (Saatman, dkk, 2008).

2.5  Patogenesis & Patofisiologi

2.5.1 Cedera Otak Primer

Secara umum, cedera otak primer menunjuk kepada kejadian yang tak terhindarkan dan disertai kerusakan parenkim yang terjadi sesaat setelah terjadi trauma (Saatman, dkk, 2008 dan Werner dan Engelhard, 2007). Cedera ini dapat berasal dari berbagai bentuk kekuatan seperti akselerasi, rotasi, kompresi, dan distensi sebagai akibat dari proses akselerasi dan deselerasi. Kekuatan-kekuatan ini menyebabkan tekanan pada tulang tengkorak yang dapat mempengaruhi neuron, glia, dan pembuluh darah dan selanjutnya menyebabkan kerusakan fokal, multifokal maupun difus pada otak. Cedera otak dapat melibatkan parenkim otak dan / atau pembuluh darah otak. Cedera pada parenkim dapat berupa kontusio, laserasi, ataupun diffuse axonal injury (DAI), sedangkan cedera pada pembuluh darah otak dapat berupa perdarahan epidural, subdural, subaraknoid, dan intraserebral yang dapat dilihat pada CT-scan (Indharty, 2012).

2.5.2  Cedera Otak Sekunder

Cedera otak sekunder menunjuk kepada keadaan dimana kerusakan pada otak dapat dihindari setelah setelah proses trauma. Beberapa contoh gangguan sekunder ini adalah hipoksia, hipertensi, hiperkarbi, hiponatremi, dan kejang (Saatman, dkk, 2008). Menurut Indharty (2012), cedera otak sekunder merupakan lanjutan dari cedera otak primer. Hal ini dapat terjadi akibat adanya reaksi peradangan, biokimia, pengaruh neurotransmitter, gangguan autoregulasi, neuro-apoptosis, dan inokulasi bakteri.

Faktor intrakranial (lokal) yang mempengaruhi cedera otak sekunder adalah adanya hematoma intrakranial, iskemik otak akibat penurunan perfusi ke
jaringan di otak, herniasi, penurunan tekanan arterial otak, tekanan intrakranial yang meningkat, demam, vasospasm, infeksi, dan kejang. Sebaliknya, faktor ekstrakranial (sistemik) yang mempengaruhi cedera otak sekunder dikenal dengan istilah “nine deadly H’s” meliputi hipoksemia, hipotensi, hiperkapnia, hipokapnia, hipertermi, hiperglikemi dan hipoglikemi, hiponatremi, hipoproteinemia, serta hemostasis (Indharty, 2012).

2.5.3 Patofisiologi Cedera Kepala Secara Umum

Fase pertama kerusakan serebral paska terjadinya cedera kepala ditandai oleh kerusakan jaringan secara langsung dan juga gangguan regulasi peredaran darah serta metabolisme di otak. Pola “ischaemia-like” ini menyebabkan akumulasi asam laktat sebagai akibat dari terjadinya glikolisis anaerob. Selanjutnya, terjadi peningkatan permeabilitas pembuluh darah diikuti dengan pembentukan oedem. Sebagai akibat berlangsungnya metabolisme anaerob, sel-sel otak kekurangan cadangan energi yang turut menyebabkan terjadinya kegagalan pompa ion di membran sel yang bersifat energy-dependent (Werner dan Engelhard, 2007).

Pada fase kedua dapat dijumpai depolarisasi membran terminal yang diikuti dengan pelepasan neurotransmitter eksitatori (glutamat dan aspartat) yang berlebihan. Selain itu, pada fase kedua dapat juga ditandai oleh teraktifasinya N-methyl-D-aspartate, α-amino-3-hydroxy-5-methyl-4-isoxazolpropionate, serta kanal ion kalsium dan natrium yang voltage-dependent(Werner dan Engelhard, 2007).

Influks kalsium dan natrium menyebabkan terjadinya proses self-digesting di intraseluler. Kalsium mampu mengaktifkan beberapa enzim seperti lipid peroxidases, protease, dan fosfolipase yang dapat menyebabkan peningkatan konsentrasi asam lemak bebas dan radikal bebas di intraseluler. Sebagai tambahan, aktifasi dari enzim caspases (ICE-like proteins), translocases, dan endonuklease mampu menginisiasi perubahan struktural dari membran biologis
dan nucleosomal DNA secara progresif. Fase-fase ini secara bersamaan mendukung terjadinya proses degradasi membran vaskular dan struktur seluler dan akhirnya menyebabkan terjadinya proses nekrotik ataupun kematian sel terprogram (apoptosis) (Werner dan Engelhard, 2007).

2.6          Faktor Resiko Cedera Kepala
Faktor Resiko
Orang yang paling beresiko cedera otak traumatis meliputi:
·                 Anak-anak, terutama bayi baru lahir sampai 4-year-olds
·                 Dewasa muda, terutama antara usia 15 dan 24
·                 Dewasa usia 75 dan lebih tua
·                 Pria yang dua kali lebih mungkin meninggal akibat cedera kepala
daripada wanita.
·                 Dalam hal ras dan etnis, Hispanik adalah paling rentan terhadap
·                  kematian akibat cedera kepala
·                 Bekerja pada pada industri tertentu seperti pertanian dan konstruksi
·                 Konsumsi alkohol
2.7          Manifestasi Klinis ( cedera kepala ringan dan berat )
o      Cedera (trauma) kepala ringan:
Cedera (trauma) kepala ringan adalah cedera pada otak yang umumnya disebabkan oleh benturan pada kepala, misalnya karena terjatuh, pukulan, atau kecelakaan. Di samping itu, goncangan serta hentakan keras pada kepala atau tubuh juga bisa memicu trauma yang lebih dikenal sebagai gegar otak ini.
Gegar otak biasanya akan memengaruhi fungsi otak, namun jarang menyebabkan kerusakan permanen. Sebagian besar pengidap cedera ini tetap sadarkan diri sehingga cenderung tidak menyadari bahwa dirinya sedang mengalami gegar otak.
Gejala-gejala Trauma Kepala Ringan
Trauma kepala ringan umumnya ditandai oleh gejala-gejala yang ringan. Durasi berlangsungnya pun hanya sebentar. Beberapa gejala yang mungkin dialami oleh pasien adalah:
·                 Mual atau muntah.
·                 Pusing atau sakit kepala ringan.
·                 Pandangan kabur.
·                 Linglung.
·                 Terlihat bengong.
·                 Mudah marah atau kesal.
·                 Perubahan pola tidur, misalnya susah tidur atau tidur lebih lama dari
biasanya.
·                 Telinga berdenging.
·                 Merasa lemas atau lelah.
·                 Mengalami gangguan keseimbangan tubuh.
Gejala-gejala trauma otak ringan bisa terjadi sesaat setelah pengidap mengalami cedera. Meski demikian, ada juga yang muncul beberapa jam atau beberapa hari setelahnya.
Pada anak yang mengalami gegar otak, gejalanya cenderung sama dengan orang dewasa. Tetapi terkadang lebih sulit dideteksi. Berikut ini sejumlah gejala tambahan pengidap gegar otak ringan pada anak-anak, khususnya balita.
·                 Lebih cengeng dari biasanya atau bahkan terus menangis.
·                 Perubahan sikap atau cara bermain, misalnya tidak tertarik dengan
mainan kesukaannya.
·                 Uring-uringan.
·                 Sulit memusatkan perhatian.
·                 Kehilangan keseimbangan sehingga sulit berjalan.
·                 Mudah lelah.
Periksakan diri Anda atau anak Anda ke dokter jika gejala bertambah parah atau tidak kunjung berkurang selama 24 jam setelah mengalami cedera kepala. Pemantauan secara seksama pada 24 jam pertama ini sangatlah penting, terutama jika mengalami kehilangan kesadaran selama lebih dari 30 detik, muntah berulang kali, sakit kepala yang makin parah, perdarahan dari telinga, lemas, lebam di belakang telinga, pandangan sangat kabur, linglung, kejang-kejang, uring-uringan, pelafalan yang tidak jelas, amnesia, atau kehilangan keseimbangan.
Diagnosis Trauma Kepala Ringan
Pada tahap awal diagnosis, dokter akan menanyakan seputar cedera yang dialami oleh pasien. Langkah ini juga sekaligus digunakan untuk menguji kemampuan mengingat maupun konsentrasi pasien.
Dokter kemudian akan memeriksa tingkat koordinasi, keseimbangan, serta refleks pasien. Jika dibutuhkan dokter akan menganjurkan CT atau MRI scan guna memastikan diagnosis.
Pengobatan Trauma Kepala Ringan
Trauma kepala ringan umumnya jarang membutuhkan penanganan medis secara khusus. Pengobatan dan langkah penyembuhannya bisa diterapkan di rumah dengan cara-cara berikut.
·                 Beristirahat. Ini merupakan penanganan utama untuk cedera kepala
ringan.
·                 Batasi jumlah orang yang datang menjenguk agar pasien bisa
beristirahat.
·                 Hindari aktivitas fisik seperti olahraga.
·                 Memantau kondisi pasien selama setidaknya dua hari setelah cedera.
·                 Tempelkan kompres dingin di kepala guna meringankan gejala.
·                 Hindari konsumsi obat tidur serta obat penenang, kecuali atas anjuran
dokter.
·                 Jangan mengonsumsi minuman keras atau obat-obatan terlarang.
·                 Batasi aktivitas yang menuntut penggunaan kemampuan berpikir dan
konsentrasi, contohnya menonton televisi, membaca, menggunakan
komputer, atau bermain game.
·                 Jangan mengemudi atau mengoperasikan alat berat sampai Anda
benar-benar pulih.
·                 Hindari stimulasi berlebihan pada pengidap anak-anak atau membuat
mereka terlalu bahagia.
·                 Cegah pengidap anak-anak untuk melakukan permainan yang
membutuhkan tenaga atau terjadi banyak kontak fisik.
·                 Gunakan paracetamol jika dibutuhkan.
·                 Jangan mengonsumsi obat antiinflamasi non-steroid (OAINS).

Komplikasi Trauma Kepala Ringan
Keseimbangan senyawa otak pada pengidap gegar otak akan mengalami perubahan. Waktu pemulihan pada tiap pengidap cenderung berbeda-beda. Secara umum, dibutuhkan waktu beberapa minggu agar keseimbangan tersebut kembali normal. Oleh sebab itu, sangatlah penting bagi pengidap untuk menjaga kondisinya dan menghindari aktivitas yang berpotensi memperparah gejala.
Trauma kepala ringan yang dibiarkan begitu saja berpotensi memicu berbagai komplikasi. Beberapa di antaranya adalah:
·                 Sindrom pasca gegar otak, seperti sakit kepala, pusing, serta
kesulitan untuk berpikir.
·                 Epilepsi. Risiko penyakit ini akan meningkat hingga dua kali lipat
pada orang yang pernah mengalami trauma kepala ringan.
·                 Sindrom cedera otak kedua. Komplikasi pembengkakan otak yang
berkembang sangat cepat dan bersifat fatal biasanya terjadi pada cedera otak kedua. Cedera ini terjadi dalam waktu dekat setelah gegar otak pertama, di mana pengidap gegar otak belum sepenuhnya pulih.
·                 Penumpukan efek akibat cedera otak. Cedera otak yang terjadi
berulang kali dapat menyebabkan penumpukan gangguan fungsi otak yang dapat bersifat permanen pada pengidapnya.
·                 Vertigo dan sakit kepala. Komplikasi ini bisa dialami oleh pengidap
selama satu minggu hingga beberapa bulan setelah mengalami cedera
otak.

o      Cedera (trauma) kepala berat :
Cedera (trauma) kepala berat adalah cedera yang memicu terganggunya fungsi otak. Jenis cedera otak yang mungkin terjadi meliputi lebam, jaringan yang sobek, serta perdarahan. Cedera ini berpotensi menyebabkan komplikasi jangka panjang dan bahkan kematian, sehingga harus segera ditangani di rumah sakit.
Kondisi ini bisa disebabkan oleh benturan atau hentakan yang sangat keras pada kepala atau tubuh. Atau adanya objek tertentu yang masuk menembus tengkorak, misalnya serpihan tulang tengkorak yang retak atau peluru
Gejala Trauma Kepala Berat
 Kepala berat memiliki beragam gejala yang memengaruhi fisik maupun psikologi pengidapnya. Beberapa gejala umumnya meliputi:
·                 Kehilangan kesadaran. Gejala ini bisa terjadi selama beberapa menit
hingga beberapa jam.
·                 Sakit kepala berkepanjangan atau semakin parah.
·                 Bicara yang tidak jelas.
·                 Linglung.
·                 Sulit untuk tetap sadar atau terus-menerus merasa mengantuk pada
beberapa jam setelah cedera.
·                 Kejang-kejang.
·                 Pandangan yang kabur.
·                 Kehilangan pendengaran.
·                 Muntah berulang kali.
·                 Perdarahan dari telinga.
·                 Keluar cairan bening dari hidung atau telinga. Cairan bening ini
merupakan cairan serebrospinal yang biasanya mengelilingi otak dan
tulang belakang.
·                 Mengalami amnesia.
·                 Lebam di belakang telinga.
·                 Lemas.
·                 Kehilangan kemampuan koordinasi tubuh, misalnya sulit menjaga
keseimbangan saat berjalan.
·                 Uring-uringan atau menunjukkan tingkah laku yang tidak biasa.
Waktu kemunculan gejala-gejala tersebut juga bervariasi. Ada yang muncul segera setelah seseorang mengalami cedera dan ada yang baru muncul beberapa hari atau minggu setelahnya.
Sementara pada bayi serta balita yang belum bisa berkomunikasi dengan lancar, gejala-gejala kondisi ini dapat dikenali melalui perubahan kebiasaan tidur, sering sedih atau terlihat depresi, uring-uringan, serta kehilangan minat pada mainan favorit.
Segera ke rumah sakit untuk memeriksakan kondisi jika Anda atau anak Anda mengalami benturan pada kepala maupun tubuh. Terutama ketika muncul gejala kehilangan kesadaran. Jika Anda sendiri yang mengalami cedera, pastikan ada orang lain yang menemani Anda ke rumah sakit.

Diagnosis Trauma Kepala Berat
Setelah memastikan kondisi Anda stabil, dokter atau pekerja medis akan menanyakan gejala, kondisi, serta penyebab cedera kepala Anda pada orang yang mengantar Anda ke rumah sakit. Deskripsi gejala serta kondisi Anda yang mendetail akan membantu dokter dalam proses diagnosis. Atau dokter juga bisa bertanya kepada Anda sendiri, bila Anda dalam keadaan sadar.
Tingkat keparahan trauma kepala yang Anda alami akan dievaluasi oleh dokter melalui standar internasional yang disebut Glasgow Coma Scale (GCS). Ini adalah skala yang mengukur kesadaran penderita dengan melihat responsnya terhadap berbagai rangsangan. Dalam proses ini, ada beberapa faktor yang dijadikan dasar evaluasi, yaitu gerakan, respons verbal, dan kemampuan Anda untuk membuka mata. Skala tertinggi di angka 15, artinya seseorang dalam kesadaran penuh dan tanggap dalam merespons rangsang. Skala terburuk di angka 3, artinya seseorang dalam keadaan koma yang dalam sehingga tidak memberikan respons dengan membuka mata, berbicara, dan bergerak. Jika nilai kondisi Anda berada di bawah angka delapan, Anda akan dianggap mengalami trauma kepala yang berat.
Dokter juga akan menganjurkan pemeriksaan kondisi otak Anda dengan CT atau MRI scan jika dibutuhkan. Anda biasanya akan diminta untuk menjalani opname di rumah sakit apabila ditemukan masalah pada hasil pemindaian tersebut, gejala yang dialami tidak berkurang, Anda mengonsumsi alkohol atau obat-obatan terlarang sebelum atau saat mengalami cedera, atau tidak ada yang mengawasi Anda di rumah.
Pengobatan Trauma Kepala Berat
Trauma kepala berat umumnya membutuhkan penanganan di rumah sakit. Dokter atau pekerja medis akan memantau perkembangan pasien secara berkala setiap setengah jam hingga pasien benar-benar sadar dan awas. Pemantauan ini dilakukan dengan memeriksa:
·                 Tingkat kesadaran.
·                 Ukuran dan reaksi pupil mata terhadap cahaya.
·                 Kemampuan koordinasi tangan dan kaki.
·                 Pernapasan.
·                 Detak jantung.
·                 Tekanan darah.
·                 Suhu tubuh.
·                 Kadar oksigen dalam darah.
Jika kondisi pasien mengalami penurunan, dokter akan kembali menganjurkan CT scan guna mengecek kondisi otaknya. Dokter juga mungkin akan memasang monitor tekanan intrakranial. Alat ini berfungsi mengukur tekanan dalam otak pasien untuk mendeteksi tanda-tanda perdarahan di dalam tengkorak.
Operasi kraniotomi akan dianjurkan oleh dokter apabila:
·                 Terdapat perdarahan dan pembekuan darah di lapisan pembungkus
dan jaringan otak
·                 Memar pada jaringan otak yang dapat berkembang menjadi sumbatan
pembuluh darah otak
·                 Fraktur pada tengkorak.
Prosedur ini bertujuan untuk meminimalisasi kerusakan jaringan otak.
Sebagian besar pengidap trauma kepala berat membutuhkan rehabilitasi. Jenis rehabilitasi serta kombinasinya akan ditentukan berdasarkan tingkat keparahan cedera dan dampaknya pada pengidap. Beberapa jenis rehabilitasi yang biasa dijalani oleh pasien kondisi ini meliputi:
·                 Terapi fisik untuk membantu pasien kembali mempelajari
kemampuan mendasar, seperti berjalan.
·                 Terapi okupasi yang akan membantu pasien untuk menjalani kegiatan
sehari-hari termasuk melatih kemampuan bekerja.
·                 Terapi bicara guna mengatasi gangguan bicara dan komunikasi.
·                 Terapi perilaku kognitif yang membantu pasien untuk mengubah pola
pikir agar bisa beradaptasi dengan masalah secara positif dan efektif.
·                 Psikoterapi yang akan membantu melegakan kekhawatiran dan
membuat kita lebih mengerti masalah yang sebenarnya sekaligus
mengenali perasaan dan cara pikir pribadi.
·                 Psikiatri dapat memberikan obat-obatan dan rekomendasi perawatan
lain yang dapat mengembalikan kesehatan jiwa pasien.
Komplikasi Trauma Kepala Berat
Trauma kepala berat berpotensi menyebabkan komplikasi serius yang bahkan bisa berakibat fatal. Semakin parah tingkat cedera otak yang dialami, tingkat keseriusan komplikasi yang mungkin terjadi juga akan semakin meningkat. Beberapa di antaranya adalah:
·                 Perubahan tingkat kesadaran, contohnya koma.
·                 Infeksi. Fraktur tengkorak atau luka tusukan bisa menyobek lapisan
jaringan pelindung otak (selaput otak) sehingga bakteri bisa
memasuki otak dan menyebabkan infeksi.
·                 Peningkatan cairan serebrospinal. Kondisi ini akan meningkatkan
tekanan di dalam rongga kepala dan pembengkakan otak.
·                 Kejang-kejang. Pengidap trauma kepala umumnya mengalami
kejang dalam minggu pertama setelah cedera. Komplikasi ini juga
bisa terjadi berulang kali yang disebut epilepsi pasca trauma.
·                 Kerusakan pembuluh darah. Komplikasi ini bisa memicu stroke
serta penggumpalan darah.
·                 Kerusakan saraf, seperti kelumpuhan otot wajah atau kerusakan
saraf mata.
·                 Gangguan intelektual, misalnya pada kemampuan mengingat,
menyelesaikan masalah, berorganisasi, serta konsentrasi.
·                 Gangguan komunikasi, seperti kesulitan bicara serta sulit
memahami tulisan.
·                 Perubahan tingkah laku serta emosi. Contohnya, tidak bisa
mengendalikan diri, depresi, insomnia, dan uring-uringan.
·                 Perubahan fungsi indera, misalnya kehilangan indera penciuman
atau perasa.
2.8   Pemeriksaan Diagnostik
·         tes darah
·         x-ray - sebuah tes diagnostik yang menggunakan terlihat balok energi elektromagnetik untuk menghasilkan gambar dari jaringan internal tulang, dan organ ke film.
·         computed tomography scan (Juga disebut CT atau CAT scan.) - sebuah prosedur pencitraan diagnostik yang menggunakan kombinasi dari x-ray dan teknologi komputer untuk menghasilkan gambar penampang (sering disebut iris), secara horisontal dan vertikal, dari tubuh. CT scan menunjukkan gambar rinci dari setiap bagian tubuh, termasuk tulang, otot, lemak, dan organ. CT scan lebih rinci daripada umum x-ray.
·         electroencephalogram (EEG) - sebuah prosedur yang mencatat terus menerus, aktivitas listrik otak melalui elektroda menempel pada kulit kepala.
·         magnetic resonance imaging (MRI) - sebuah prosedur diagnostik yang menggunakan kombinasi magnet besar, radiofrequencies, dan komputer untuk menghasilkan gambar detil dari organ dan struktur dalam tubuh.
·         Angiografi serebral : Menunjukan anomali sirkulasi cerebral, seperti: perubahan jaringan otak sekunder menjadi udema, perdarahan trauma Dan.
·         Serial EEG: Dapat melihat perkembangan Gelombang Yang patologis
·         BAER: Mengoreksi Batas fungsi corteks Dan otak Kecil
·         PET: Mendeteksi perubahan AKTIVITAS Metabolisme otak
·         CSF, lumbal punksi: Dapat dilakukan jika diduga terjadi perdarahan subarachnoid.
·         GDA: Mendeteksi keberadaan ventilasi atau masalah pernapasan (oksigenisasi) jika terjadi peningkatan tekanan intrakranial.


_____________________________________________________________________________




BTW Guys aku baru baca ternyata bab 3 dan dapus gak ada hahahaha, buat sendiri ajalah ya. Gampang koks~

Tidak ada komentar:

Posting Komentar