Assalamualaikum readers..
Long Time No See gak sii..
So, Today aku mau share beberapa tugas selama perkuliahan di FKM USU gak banyak sih, but semoga bisa membantu kalian.
Btw, gua terlalu sibuk jadi gak sempat untuk banyak post dan memperhatikan beberapa hal. Contoh kaya biodata yang belum gue perbaiki sejak 4 tahun lalu hahaha, semoga selanjutnya gue akan jauh lebih sering lagi menulis... doain ya guyss
Ok langsung aja nih adalah tugas gue saat semester 3, lagi dan lagi tentang Epidemiologi. BUT, kalian harus tahu yaaaaa aku itu peminatanya tuh KESEHATAN LINGKUNGAN wkwkwkw.
TUGAS
KELOMPOK
EPIDEMIOLOGI
PENYAKIT TIDAK MENULAR
“
CEDERA KEPALA ”
Oleh
:
Heny
Togatorop (161000199)
Miftahurrahmah
El Hayatli (161000315)
Fanoi
Iman Kristian T. (161000251)
Togar
Muhammad Reyza Sagala (161000136)
Apnila
Putri Saragih (161000176)
Canra
Herianto Manurung (161000223)
FAKULTAS
KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS
SUMATERA UTARA
2017
______________________________________________________________
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah
memberikan rahmat serta karunia-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan tugas Epidemiologi Penyakit Tidak Menular yang berjudul “ Cedera
Kepala ”. Shalawat beserta salam kami hadiahkan kepada nabi besar kita
Muhammad SAW yang telah membawa kita dari alam yang gelap gulita menuju alam
terang benderang seperti saat ini.
Pada kesempatan ini tak lupa kami mengucapkan terima kasih
banyak kepada ibu
dr. Fazidah A. Siregar MKes, PhD sebagai dosen Epidemiologi Penyakit Tidak
Menular kami yang telah memberikan bimbingan dalam menyelesaikan tugas ini,
serta begitu pula kepada semua pihak yang telah memberi
penulis bantuan dan wawasan baik itu secara langsung maupun tidak langsung.
Semoga Allah SWT senantiasa meridhai segala usaha kita.
Kami menyadari
bahwa masih banyak kekurangan dalam penyusunan tugas ini,
oleh karena itu kami memohon maaf apabila terdapat kesalahan kata-kata yang
kurang berkenan,
kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun selalu kami harapkan.
Diharapkan dalam rangka menambah
wawasan serta pengetahuan, tugas ini dapat bermanfaat bagi kita semua untuk memberikan informasi
mengenai cedera kepala. Semoga tugas sederhana ini dapat dipahami bagi
siapapun yang membacanya.
Wassalamualaikum
wr.wb
Medan, 18 Oktober 2017
Penulis
________________________________________________________________________________
DAFTAR ISI
Kata Pengantar
.................................................................................................. i
Daftar Isi ........................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah .............................................................................. 2
1.3 Tujuan ................................................................................................ 2
1.4 Manfaat
.............................................................................................. 3
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Definisi Cedera Kepala...................................................................... 4
2.2 Epidemiologi Cedera Kepala............................................................. 4
2.3 Etiologi Cedera Kepala...................................................................... 7
2.4 Klasifikasi Cedera Kepala.................................................................. 8
2.4.1 Klasifikasi Berdasarkan Tingkat Keparahan............................ 8
2.4.2 Klasifikasi Berdasarkan Pathoanatomic................................ 10
2.4.3 Klasifikasi Berdasarkan Mekanisme Fisik..............................10
2.5 Patogenesis & Patofisiologi……………........................................ 10
2.5.1 Cedera Otak Primer……………….........................................10
2.5.2
Cedera Otak Sekunder….........................................................11
2.5.3
Patofisiologi Cedera Kepala Secara
Umur...............................11
2.6 Faktor Resiko Cedera Kepala …………………..............................12
2.7 Manifestasi
Klinis ( cedera kepala ringan dan berat…....................13
2.8 Pemeriksaan Diagnostik……………………...................................19
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan...................................................................................... 20
3.2 Saran................................................................................................ 20
Daftar Pustaka………………………….......………………..…...................
21
_______________________________________________________________________________
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Cedera kepala (trauma capitis) adalah
suatu gangguan traumatik dari fungsi otak yang disertai atau tanpa disertai
perdarahan interstitial dalam substansi otak tanpa diikuti terputusnya
kontinuitas otak, cedera kepala merupakan cedera mekanik yang secara langsung
atau tidak langsung mengenai kepala yang mengakibatkan luka dikulit kepala,
fraktur tulang tengkorak, robekan selaput otak, dan kerusakan jaringan otak itu
sendiri serta mengakibatkan gangguan neurologis. Hal ini merupakan salah satu
penyebab kematian dan kecacatan utama pada kelompok usia produktif dan sebagian
besar terjadi akibat kecelakaan lalu lintas, jatuh/tertimpa benda berat,
serangan/kejahatan, pukulan keras, tembakan dan pergerakan mendadak sewaktu
olahraga. Secara garis besar cedera kepala di bagi menjadi cedera kepala
ringan,sedang dan berat.
Diperkirakan 100.000 orang meninggal
setiap tahunnya akibat cedera kepala, dan lebih dari 700.000 mengalami cedera
cukup berat yang memerlukan perawatan dirumah sakit. Pada kelompok ini antara
50.000 -90.000 orang setiap tahun mengalami penurunan intelektual atau tingkah
laku yng menghambat kembalinya mereka menuju kehidupan normal.
Berdasarkan hasil Riset Kesehatan
dasar (RISKESDES) tahun 2013, jumlah data yang dianalisis seluruhnya 1.027.758
orang untuk semua umur. Adapun responden yang pernah mengalami cedera sebanyak
84.774 orang dan sebanyak 34.409 orang cedera kepala diakibatkan karena
kecelakaan transportasi. Prevalensi cedera secara nasional adalah 8,2 %,
prevalensi tertinggi ditemukan di Sulawesi Selatan yaitu12,8 % dan terendah di
Jambi sebesar 4,5 %. Berikut ini disajikan kecenderungan prevalensi cedera dan
penyebabnya di Indonesia pada tahun 2007 dan 2013.
Dari
gambar diatas dapat disimpulkan bahwa penyebab cedera yang paling besar adalah
kecelakaan transportasi darat sebanyak 47,7 % dan ini mengalami kenaikan dari
tahun 2007 (lihat tabel).
Prevalensi
cedera tertinggi berdasarkan karakteristik responden yaitu pada kelompok umur
15-24 tahun (11,7 %), laki-laki (10,1 %), pendidikan tamat SMP/MTS (9,1 %),
yang tidak bekerja atau bekerja sebagai pegawai (8,4 %), dan bertempat tinggal
di perkotaan (8,7%).
1.2 Rumusan masalah
1. Apa pengertian dan klasifikasi dari cedera
kepala?
2. Bagaimana epidemiologi dan etiologi dari cedera
kepala ?
3. Bagaimana patofisiologi dan patogenesis
cedera kepela ?
1.3 Tujuan
a.
Tujuan Umum
Pembaca diharapkan dapat mengenali gejala cederakepala
dengan cepat dan dapat melakukan pencegahan pada faktor yang beresiko dan juga
pengobatan pada penderita cedera kepala
b.
Tujuan Khusus
1.
Pembaca
diharapkan dapat mengaplikasikan pencegahan cedera
kepala
yang dimulai dari diri sendiri untuk mengurangi jumlah penderita
2.
Pembaca
diharapkan semakin peduli terhadap lingkungan sekitar baik
dalam
pekerjaan atau tidak yang dapat membahayakan diri sendiri.
1.4 Manfaat
Makalah ini diharapkan dapat
membantu pembaca untuk mengetahui lebih dalam lagi mengenai cedera kepala baik
dalam gejala, faktor risiko, pencegahan dan juga pengobatan.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1
Definisi Cedera Kepala
Cedera kepala dapat disebut juga dengan head injury ataupun traumatic
brain injury. Kedua istilah ini
sebenarnya memiliki pengertian yang sedikit
berbeda. Head injury merupakan
perlukaan pada kulit kepala, tulang tengkorak, ataupun otak sebagai akibat dari
trauma. Perlukaan yang terjadi dapat mengakibatkan terjadinya benjolan kecil
namun dapat juga berakibat serius (Heller, 2013). Sedangkan, traumatic brain injury merupakan
gangguan fungsi otak ataupun patologi pada otak yang disebabkan oleh kekuatan (force) eksternal yang dapat terjadi di
mana saja termasuk lalu lintas, rumah, tempat kerja, selama berolahraga,
ataupun di medan perang (Manley dan Mass, 2013). Head injury merupakan istilah yang lebih luas dari traumatic brain injury. Tidak adanya
konsensus yang mengatur tentang definisi yang tepat menyebabkan terjadinya
tumpang tindih ini (Williams, 2004).
Cedera kepala disebut-sebut terjadi sebagai hasil dari
interaksi antara seorang individu dengan agen eksternal seperti kekuatan
mekanis (Reilly dan Bullock, 2005). Cedera kepala merupakan fenomena klinis
yang kompleks dengan klasifikasi, perjalanan penyakit (clear natural history), ataupun kriteria diagnostik patologi anatomi
yang kurang jelas (Raji, dkk, 2014). Menurut Dawodu (2013), cedera kepala
merupakan gangguan pada otak yang bukan diakibatkan oleh suatu proses
degeneratif ataupun kongenital, melainkan suatu kekuatan mekanis dari luar
tubuh yang bisa saja menyebabkan kelainan pada aspek kognitif, fisik, dan
fungsi psikososial seseorang secara sementara ataupun permanen dan berasosiasi
dengan hilangnya ataupun terganggunya status kesadaran seseorang.
2.2 Epidemiologi Cedera Kepala
Insidensi cedera kepala di seluruh dunia cenderung untuk
terus meningkat. Kejadian ini berhubungan dengan meningkatnya penggunaan
kendaraan bermotor yang terlihat jelas pada negara-negara yang berpendapatan
rendah dan menengah (Roozenbeek, Maas, dan Menon, 2013). Menurut WHO, kejadian
cedera kepala akan melebihi kejadian berbagai penyakit lainnya dalam
menyebabkan kematian dan kecacatan pada tahun 2020. Beban akibat cedera kepala
ini terutama tampak jelas pada negara-negara berpendapatan rendah dan menengah.
Sebab, di negara-negara ini terdapat banyak faktor risiko yang dapat mendorong
terjadinya cedera kepala. Hal ini semakin diperparah oleh ketidaksiapannya
sistem kesehatan di negara-negara tersebut (Hyder, dkk, 2007).
Insidensi cedera kepala secara global diperkirakan sekitar
200 per 100.000 orang setiap tahunnya. Namun, angka tersebut dianggap bukanlah
suatu angka yang pasti dan merupakan angka yang underestimated (Bryan-Hancock dan Harrison, 2010). Data yang
diperoleh dari Center of Disease Control
and Prevention (CDC) menunjukkan
bahwa kejadian cedera kepala di Amerika Serikat
adalah sekitar 1,7 juta kasus setiap tahunnya (Roozenbeek, Maas, dan Menon,
2013). Di Eropa, cedera kepala yang diterima di rumah sakit adalah sekitar 235
kasus per 100.000 orang setiap tahunnya (Tagliaferri, dkk, 2006). Insidensi
cedera kepala di Afrika Selatan adalah sekitar 310 kasus per 100.000 orang
setiap tahunnya (Roozenbeek, Maas, dan Menon, 2013). Pada tahun 2004, terdapat
sekitar 14.948 kasus cedera kepala yang diterima di 77 rumah sakit di Negara
China Timur (Wu, dkk, 2008).
Di Indonesia, penelitian mengenai insidensi cedera kepala
masih sangat minim sehingga angka kejadian cedera kepala di Indonesia masih
belum dapat ditentukan.Di RSUP Haji Adam Malik Medan tercatat sekitar 1.627
kasus cedera kepala terjadi pada tahun 2010 (Indharty, 2012). Di RSUD dr.
Pirngadi Medan dijumpai 1.095 kasus cedera kepala pada tahun 2002 dengan jumlah
kematian 92 orang (Nasution, 2010).
Cedera kepala menjadi penyebab utama
kematian orang dewasa yang berusia dibawah 45 tahun dan pada anak-anak berusia
1 sampai 15 tahun (Sharples, dkk, 1990). Kasus cedera kepala terbanyak
merupakan cedera kepala derajat ringan (Thornhill, dkk, 2000). Pasien dengan
cedera kepala ringan memiliki prognosis yang baik bila penanganan dilakukan dengan
baik pula.
Secara kesuluruhan angka kematian pada pasien-pasien cedera
kepala ringan adalah sekitar 0,1% dan paling sering disebabkan oleh perdarahan
intrakranial yang tidak terdiagnosa. Walaupun banyak pasien cedera kepala
ringan yang dapat kembali bekerja, namun sekitar 50% dari pasien ini memiliki
disabilitas sedang sampai berat bila diukur dengan Glasgow Outcome Scale (GOS) atau Disability Outcome Scale (DOS). Hal ini menunjukkan bahwa cedera
kepala ringan pun memiliki morbiditas yang signifikan (Moppett, 2007).
Pada pasien-pasien yang mengalami cedera kepala yang lebih
parah, prognosisnya jauh lebih buruk. Sekitar 30% dari pasien yang diterima di
rumah sakit dengan Glasgow Coma Scale
(GCS) <13 akhirnya akan meninggal. Mortalitas pasien-pasien dengan GCS≤ 8
setelah dilakukan resusitasi adalah sekitar 50%. Pasien-pasien yang diterima di
rumah sakit dengan GCS ≤ 12, sekitar 8% pasien tersebut akan meninggal dalam 6
jam pertama, dan 2% akan meninggal dalam 1 jam pertama. Manifestasi jangka
panjang pasien-pasien dengan cedera kepala berat jauh lebih buruk disbanding
dengan pasien dengan cedera kepala ringan. Hanya sekitar 20% pasien dengan
cedera kepala berat dapat pulih dengan baik diukur dengan GOS (Moppett, 2007).
Menurut Centers for
Disease Control and Prevention's National Center for Injury Prevention and
Control, statistik tahunan berikut berlaku di Amerika Serikat:
·
Setidaknya 1,4 juta orang memgalami
cedera kepala
·
Sekitar 50.000 orang meninggal karena
cedera kepala
·
Sekitar 475,000 cedera kepala terjadi di
antara bayi, anak-anak, dan
remaja berusia 0-14
tahun.
·
Sekitar 80,000-90,000 orang mengalami
terjadinya cacat jangka
panjang karena cedera kepala
Kelompok berikut berada pada risiko
tertentu untuk cedera kepala:
·
Laki-laki dua kali lebih mungkin
daripada perempuan untuk
mengalami cedera kepal
·
Bayi dan anak-anak berusia 0-4 dan
remaja usia 15-19 tahun adalah 2
kelompok umur pada
risiko tertinggi untuk cedera kepala
·
Orang dewasa berusia 75 tahun atau lebih
memiliki tingkat tertinggi
rawat inap dan kematian
terkait cedera kepala
Sebuah head injury disebabkan oleh
kekuatan yang berlebihan, pukulan, atau cedera tembus ke kepala. Penyebab utama
TBI adalah sebagai berikut:
·
Terjun (28%)
·
Kecelakaan kendaraan bermotor (20%)
·
Disambar atau terhadap benda (19%)
·
Penyerangan (11%)
Tingkat mortalitas
setelah cedera otak paling tinggi pada orang dengan cedera parah. Pada tahun
pertama setelah cedera kepala, orang yang bertahan hidup lebih mungkin untuk
meninggal akibat kejang, septikemia, pneumonia, gangguan pencernaan, dan semua
penyebab eksternal cedera daripada orang lain dari usia yang sama, jenis
kelamin, dan ras. Namun, angka kematian akibat cedera kepala parah telah
menurun sejak akhir abad ke-20.
Dalam satu studi,
peneliti memperkirakan bahwa beban ekonomi akibat cedera kepala di Amerika
Serikat adalah sekitar $ 37800000000 pada tahun 1985. Perkiraan ini termasuk $
4,5 miliar belanja langsung untuk perawatan rumah sakit, perawatan
diperpanjang, dan perawatan dan pelayanan medis lainnya,. $ 20600000000
kerugian yang berhubungan dengan pekerjaan dan cacat, dan US $ 12.7 milyar pada
pendapatan yang hilang dari kematian dini.
Angka di Australia baru
menunjukkan ada sekitar 150 pasien per 100.000 penduduk dirawat di rumah sakit
setiap tahun dengan cedera kepala tertutup.
Angka di seluruh dunia
menunjukkan berbagai kejadian 200-350 per 100.000 penduduk per tahun untuk
pasien dengan cedera kepala tertutup dengan cedera kepala ringan dengana
kutansi 80%.
2.3 Etiologi Cedera Kepala
Menurut Hyder, dkk (2007), penyebab cedera kepala yang
paling sering dialami di seluruh dunia adalah akibat kecelakaan lalu lintas.
Sekitar 60% dari kasus cedera kepala merupakan akibat dari kelalaian dalam
berlalu lintas, 20 sampai 30% kasus disebabkan oleh jatuh, 10% disebabkan oleh
kekerasan, dan sisanya disebabkan oleh perlukaan yang terjadi di rumah maupun
tempat kerja
Cedera kepala dapat disebabkan oleh dua faktor, yaitu :
1. Trauma Primer, terjadi akibat trauma
pada kepala secara langsung maupun tidak langsung (akselerasi dan deselerasi).
2. Trauma Sekunder, terjadi akibat
trauma saraf (melalui akson) yang meluas, hipertensi intracranial, hipoksia,
hiperkapnea, atau hipotensi sistemik (Sibuea, 2009).
2.4 Klasifikasi Cedera Kepala
Terdapat beberapa macam klasifikasi cedera kepala dimulai
dari klasifikasi berdasarkan tingkat keparahannya sampai dengan klasifikasi
cedera kepala berdasarkan patofisiologinya. Namun demikian, terdapat tiga
sistem klasifikasi yang umum digunakan, yaitu :
1. Klasifikasi berdasarkan tingkat
keparahannya, klasifikasi ini seringkali
digunakan untuk kepentingan
penelitian klinis.
2. Klasifikasi berdasarkan tipe pathoanatomic-nya, klasifikasi ini
terutama
digunakan untuk menentukan penanganan
pasien cedera kepala pada
fase akut.
3. Klasifikasi berdasarkan mekanisme
terjadinya cedera kepala, klasifikasi
ini paling sering digunakan untuk
kepentingan pencegahan (Saatman,
dkk, 2008).
2.4.1 Klasifikasi Berdasarkan Tingkat Keparahan
Sampai saat ini, penelitian mengenai penanganan
pasien-pasien dengan cedera kepala dilakukan berdasarkan pada kriteria tingkat
keparahan kerusakan neurologis (neurologic
injury severity criteria) pasien tersebut. Skala pengukuran yang paling
sering digunakan untuk mengukur tingkat keparahan kerusakan neurologis pada
orang dewasa adalah GCS. Dasar dari pernyataan tersebut adalah, GCS memiliki
realibilitas inter-observer dan
kapabilitas dalam menentukan prognostik pasien yang baik (Saatman, dkk, 2008).
GCS dibuat oleh Jennet dan Teasdale
pada tahun 1974. Selain digunakan untuk menafsirkan tingkat kesadaran dan
prognosis penderita cedera kepala, GCS juga dapat dipakai untuk menilai
kelainan neurologis secara kuantitatif serta dapat digunakan secara umum untuk
mendeskripsikan keparahan pasien-pasiencedera kepala.Nilai GCS dapat diperoleh
dengan cara memeriksa kemampuan membuka mata, motorik, dan verbal pasien.
Masing-masing komponen pemeriksaan memiliki nilai tertinggi sebesar 4,6, dan
5.Berdasarkan GCS, cedera kepala dapat dikategorikan menjadi cedera kepala
ringan (GCS 14 – 15), cedera kepala sedang (GCS 9 – 13), dan cedera kepala
berat (GCS 3 – 8) (Sibuea, 2009).
Tabel 2.4 Glasgow Coma Scale (Teasdale dan Jannet, 1974)
Assesment Area
|
Score
|
Eye Opening ( E )
|
|
Spontaneus
|
4
|
To speech
|
3
|
To pain
|
2
|
None
|
1
|
Motor
Response ( M )
|
|
Obey command
|
6
|
Localized pain
|
5
|
Normal Flexion
|
4
|
Abnormal flexion
|
3
|
Abnormal extension
|
2
|
None
|
1
|
Verbal
Response ( V )
|
|
Oriented
|
5
|
Confused conversation
|
4
|
Inappropriate word
|
3
|
Incomprehenble sound
|
2
|
None
|
1
|
2.4.2 Klasifikasi Berdasarkan Pathoanatomic
Klasifikasi pathoanatomic
menunjukkan lokasi atau ciri-ciri anatomis yang mengalami abnormalitas. Fungsi
klasifikasi ini adalah untuk terapi yang tepat sasaran. Kebanyakan pasien
dengan trauma yang parah akan memiliki lebih dari satu jenis perlukaan bila
pasien diklasifikasikan menggunakan metode ini. Penilaian dilakukan dimulai
dari bagian luar kepala hingga ke dalam untuk melihat tipe perlukaan yang
terjadi dimulai dari laserasi dan kontusio kulit kepala, fraktur tulang
tengkorak, perdarahan epidural, perdarahan subdural, perdarahan subaraknoid,
kontusio dan laserasi otak, perdarahan intraparenkimal, perdarahan
intraventrikular, dan kerusakan fokal maupun difus dari akson. Masing-masing
dari entitas tersebut dapat dideskripsikan lebih jauh lagi meliputi seberapa
luas kerusakan yang terjadi, lokasi, dan distribusinya (Saatman, dkk, 2008).
2.4.3 Klasifikasi Berdasarkan
Mekanisme Fisik
Cedera kepala dapat diklasifikasikan berdasarkan pada apakah
kepala menabrak secara langsung suatu objek (contact or “impact” loading) ataupun otak yang bergerak di dalam
tulang tengkorak (noncontact or
“inertial” loading)
dan akhirnya menimbulkan cedera. Arah dan kekerasan pada
kedua tipe perlukaan tersebut dapat menentukan tipe dan keparahan suatu trauma.
Klasifikasi berdasarkan mekanisme fisik ini memiliki manfaat yang besar dalam
mencegah terjadinya cedera kepala (Saatman, dkk, 2008).
2.5
Patogenesis & Patofisiologi
2.5.1 Cedera Otak Primer
Secara umum, cedera otak primer menunjuk kepada kejadian
yang tak terhindarkan dan disertai kerusakan parenkim yang terjadi sesaat
setelah terjadi trauma (Saatman, dkk, 2008 dan Werner dan Engelhard, 2007).
Cedera ini dapat berasal dari berbagai bentuk kekuatan seperti akselerasi,
rotasi, kompresi, dan distensi sebagai akibat dari proses akselerasi dan deselerasi.
Kekuatan-kekuatan ini menyebabkan tekanan pada tulang tengkorak yang dapat
mempengaruhi neuron, glia, dan pembuluh darah dan selanjutnya menyebabkan
kerusakan fokal, multifokal maupun difus pada otak. Cedera otak dapat
melibatkan parenkim otak dan / atau pembuluh darah otak. Cedera pada parenkim
dapat berupa kontusio, laserasi, ataupun diffuse
axonal injury (DAI), sedangkan cedera pada pembuluh darah otak dapat berupa
perdarahan epidural, subdural, subaraknoid, dan intraserebral yang dapat
dilihat pada CT-scan (Indharty, 2012).
2.5.2 Cedera Otak Sekunder
Cedera otak sekunder menunjuk kepada keadaan dimana
kerusakan pada otak dapat dihindari setelah setelah proses trauma. Beberapa
contoh gangguan sekunder ini adalah hipoksia, hipertensi, hiperkarbi, hiponatremi,
dan kejang (Saatman, dkk, 2008). Menurut Indharty (2012), cedera otak sekunder
merupakan lanjutan dari cedera otak primer. Hal ini dapat terjadi akibat adanya
reaksi peradangan, biokimia, pengaruh neurotransmitter, gangguan autoregulasi,
neuro-apoptosis, dan inokulasi bakteri.
Faktor intrakranial (lokal) yang mempengaruhi cedera otak
sekunder adalah adanya hematoma intrakranial, iskemik otak akibat penurunan
perfusi ke
jaringan di otak, herniasi, penurunan tekanan arterial otak,
tekanan intrakranial yang meningkat, demam, vasospasm, infeksi, dan kejang.
Sebaliknya, faktor ekstrakranial (sistemik) yang mempengaruhi cedera otak
sekunder dikenal dengan istilah “nine
deadly H’s” meliputi hipoksemia, hipotensi, hiperkapnia, hipokapnia,
hipertermi, hiperglikemi dan hipoglikemi, hiponatremi, hipoproteinemia, serta
hemostasis (Indharty, 2012).
2.5.3 Patofisiologi Cedera Kepala
Secara Umum
Fase pertama kerusakan serebral paska terjadinya cedera
kepala ditandai oleh kerusakan jaringan secara langsung dan juga gangguan
regulasi peredaran darah serta metabolisme di otak. Pola “ischaemia-like” ini menyebabkan akumulasi asam laktat sebagai
akibat dari terjadinya glikolisis anaerob. Selanjutnya, terjadi peningkatan
permeabilitas pembuluh darah diikuti dengan pembentukan oedem. Sebagai akibat
berlangsungnya metabolisme anaerob, sel-sel otak kekurangan cadangan energi
yang turut menyebabkan terjadinya kegagalan pompa ion di membran sel yang
bersifat energy-dependent (Werner dan
Engelhard, 2007).
Pada fase kedua dapat dijumpai depolarisasi membran terminal
yang diikuti dengan pelepasan neurotransmitter eksitatori (glutamat dan
aspartat) yang berlebihan. Selain itu, pada fase kedua dapat juga ditandai oleh
teraktifasinya N-methyl-D-aspartate, α-amino-3-hydroxy-5-methyl-4-isoxazolpropionate,
serta kanal ion kalsium dan natrium
yang voltage-dependent(Werner dan
Engelhard, 2007).
Influks kalsium dan natrium menyebabkan terjadinya proses self-digesting di intraseluler. Kalsium
mampu mengaktifkan beberapa enzim seperti lipid
peroxidases, protease, dan
fosfolipase yang dapat menyebabkan peningkatan konsentrasi asam lemak bebas dan radikal bebas di intraseluler.
Sebagai tambahan, aktifasi dari enzim caspases
(ICE-like proteins), translocases, dan endonuklease mampu
menginisiasi perubahan struktural dari membran biologis
dan nucleosomal DNA
secara progresif. Fase-fase ini secara bersamaan mendukung terjadinya proses
degradasi membran vaskular dan struktur seluler dan akhirnya menyebabkan
terjadinya proses nekrotik ataupun kematian sel terprogram (apoptosis) (Werner dan Engelhard, 2007).
2.6
Faktor Resiko Cedera Kepala
Faktor Resiko
Orang yang paling
beresiko cedera otak traumatis meliputi:
·
Anak-anak, terutama bayi baru lahir
sampai 4-year-olds
·
Dewasa muda, terutama antara usia 15 dan
24
·
Dewasa usia 75 dan lebih tua
·
Pria yang dua kali lebih mungkin
meninggal akibat cedera kepala
daripada wanita.
·
Dalam hal ras dan etnis, Hispanik adalah
paling rentan terhadap
·
kematian akibat cedera kepala
·
Bekerja pada pada industri tertentu
seperti pertanian dan konstruksi
·
Konsumsi alkohol
2.7
Manifestasi
Klinis ( cedera kepala ringan dan berat )
o
Cedera
(trauma) kepala
ringan:
Cedera (trauma) kepala ringan adalah cedera pada
otak yang umumnya disebabkan oleh benturan pada kepala, misalnya karena
terjatuh, pukulan, atau kecelakaan. Di samping itu, goncangan serta hentakan
keras pada kepala atau tubuh juga bisa memicu trauma yang lebih dikenal sebagai
gegar otak ini.
Gegar otak biasanya akan memengaruhi fungsi
otak, namun jarang menyebabkan kerusakan permanen. Sebagian besar pengidap
cedera ini tetap sadarkan diri sehingga cenderung tidak menyadari bahwa dirinya
sedang mengalami gegar otak.
Gejala-gejala Trauma Kepala Ringan
Trauma
kepala ringan umumnya ditandai oleh gejala-gejala yang ringan. Durasi
berlangsungnya pun hanya sebentar. Beberapa gejala yang mungkin dialami oleh
pasien adalah:
·
Pusing atau sakit kepala
ringan.
·
Pandangan kabur.
·
Linglung.
·
Terlihat bengong.
·
Mudah marah atau kesal.
·
Perubahan pola tidur,
misalnya susah tidur atau tidur lebih lama dari
biasanya.
·
Telinga berdenging.
·
Merasa lemas atau lelah.
·
Mengalami gangguan
keseimbangan tubuh.
Gejala-gejala
trauma otak ringan bisa terjadi sesaat setelah pengidap mengalami cedera. Meski
demikian, ada juga yang muncul beberapa jam atau beberapa hari setelahnya.
Pada anak yang mengalami gegar otak, gejalanya
cenderung sama dengan orang dewasa. Tetapi terkadang lebih sulit dideteksi.
Berikut ini sejumlah gejala tambahan pengidap gegar otak ringan pada anak-anak,
khususnya balita.
·
Lebih cengeng dari
biasanya atau bahkan terus menangis.
·
Perubahan sikap atau
cara bermain, misalnya tidak tertarik dengan
mainan kesukaannya.
·
Uring-uringan.
·
Sulit memusatkan
perhatian.
·
Kehilangan keseimbangan sehingga
sulit berjalan.
·
Mudah lelah.
Periksakan
diri Anda atau anak Anda ke dokter jika gejala bertambah parah atau tidak
kunjung berkurang selama 24 jam setelah mengalami cedera kepala. Pemantauan
secara seksama pada 24 jam pertama ini sangatlah penting, terutama jika
mengalami kehilangan kesadaran selama lebih dari 30 detik, muntah berulang
kali, sakit kepala yang makin parah, perdarahan dari telinga, lemas, lebam di
belakang telinga, pandangan sangat kabur, linglung, kejang-kejang,
uring-uringan, pelafalan yang tidak jelas, amnesia, atau kehilangan
keseimbangan.
Diagnosis Trauma Kepala
Ringan
Pada
tahap awal diagnosis, dokter akan menanyakan seputar cedera yang dialami oleh
pasien. Langkah ini juga sekaligus digunakan untuk menguji kemampuan mengingat
maupun konsentrasi pasien.
Dokter kemudian akan memeriksa tingkat
koordinasi, keseimbangan, serta refleks pasien. Jika dibutuhkan dokter akan
menganjurkan CT atau MRI scan guna memastikan
diagnosis.
Pengobatan Trauma Kepala
Ringan
Trauma
kepala ringan umumnya jarang membutuhkan penanganan medis secara khusus.
Pengobatan dan langkah penyembuhannya bisa diterapkan di rumah dengan cara-cara
berikut.
·
Beristirahat. Ini
merupakan penanganan utama untuk cedera kepala
ringan.
·
Batasi jumlah orang yang
datang menjenguk agar pasien bisa
beristirahat.
·
Hindari aktivitas fisik
seperti olahraga.
·
Memantau kondisi pasien
selama setidaknya dua hari setelah cedera.
·
Tempelkan kompres dingin
di kepala guna meringankan gejala.
·
Hindari konsumsi obat
tidur serta obat penenang, kecuali atas anjuran
dokter.
·
Jangan mengonsumsi
minuman keras atau obat-obatan terlarang.
·
Batasi aktivitas yang
menuntut penggunaan kemampuan berpikir dan
konsentrasi, contohnya menonton televisi,
membaca, menggunakan
komputer, atau bermain game.
·
Jangan mengemudi atau
mengoperasikan alat berat sampai Anda
benar-benar pulih.
·
Hindari stimulasi
berlebihan pada pengidap anak-anak atau membuat
mereka terlalu bahagia.
·
Cegah pengidap anak-anak
untuk melakukan permainan yang
membutuhkan tenaga atau terjadi banyak kontak
fisik.
·
Gunakan paracetamol jika
dibutuhkan.
·
Jangan mengonsumsi obat
antiinflamasi non-steroid (OAINS).
Komplikasi Trauma Kepala
Ringan
Keseimbangan
senyawa otak pada pengidap gegar otak akan mengalami perubahan. Waktu pemulihan
pada tiap pengidap cenderung berbeda-beda. Secara umum, dibutuhkan waktu
beberapa minggu agar keseimbangan tersebut kembali normal. Oleh sebab itu,
sangatlah penting bagi pengidap untuk menjaga kondisinya dan menghindari
aktivitas yang berpotensi memperparah gejala.
Trauma kepala ringan yang dibiarkan begitu saja
berpotensi memicu berbagai komplikasi. Beberapa di antaranya adalah:
·
Sindrom
pasca gegar otak, seperti sakit kepala,
pusing, serta
kesulitan untuk berpikir.
pada orang yang pernah mengalami trauma kepala
ringan.
·
Sindrom
cedera otak kedua. Komplikasi
pembengkakan otak yang
berkembang sangat cepat dan bersifat fatal biasanya terjadi pada
cedera otak kedua. Cedera ini terjadi dalam waktu dekat setelah gegar otak
pertama, di mana pengidap gegar otak belum sepenuhnya pulih.
·
Penumpukan efek
akibat cedera otak.
Cedera otak yang terjadi
berulang kali dapat menyebabkan penumpukan gangguan fungsi otak
yang dapat bersifat permanen pada pengidapnya.
selama satu minggu hingga beberapa bulan setelah
mengalami cedera
otak.
o
Cedera (trauma) kepala berat :
Cedera
(trauma) kepala berat adalah cedera yang memicu
terganggunya fungsi otak. Jenis cedera otak yang mungkin terjadi meliputi
lebam, jaringan yang sobek, serta perdarahan. Cedera ini berpotensi menyebabkan
komplikasi jangka panjang dan bahkan kematian, sehingga harus segera ditangani
di rumah sakit.
Kondisi ini bisa disebabkan oleh benturan atau
hentakan yang sangat keras pada kepala atau tubuh. Atau adanya objek tertentu
yang masuk menembus tengkorak, misalnya serpihan tulang tengkorak yang retak
atau peluru
Gejala Trauma Kepala Berat
Kepala berat memiliki beragam gejala yang
memengaruhi fisik maupun psikologi pengidapnya. Beberapa gejala umumnya
meliputi:
·
Kehilangan kesadaran.
Gejala ini bisa terjadi selama beberapa menit
hingga beberapa jam.
·
Sakit kepala berkepanjangan
atau semakin parah.
·
Bicara yang tidak jelas.
·
Linglung.
·
Sulit untuk tetap sadar
atau terus-menerus merasa mengantuk pada
beberapa jam setelah cedera.
·
Pandangan yang kabur.
·
Kehilangan pendengaran.
·
Muntah berulang kali.
·
Perdarahan dari telinga.
·
Keluar cairan bening
dari hidung atau telinga. Cairan bening ini
merupakan cairan serebrospinal yang biasanya
mengelilingi otak dan
tulang belakang.
·
Lebam di belakang
telinga.
·
Lemas.
·
Kehilangan kemampuan
koordinasi tubuh, misalnya sulit menjaga
keseimbangan saat berjalan.
·
Uring-uringan atau
menunjukkan tingkah laku yang tidak biasa.
Waktu
kemunculan gejala-gejala tersebut juga bervariasi. Ada yang muncul segera
setelah seseorang mengalami cedera dan ada yang baru muncul beberapa hari atau
minggu setelahnya.
Sementara pada bayi serta balita yang belum bisa
berkomunikasi dengan lancar, gejala-gejala kondisi ini dapat dikenali melalui
perubahan kebiasaan tidur, sering sedih atau terlihat depresi, uring-uringan,
serta kehilangan minat pada mainan favorit.
Segera ke rumah sakit untuk memeriksakan kondisi
jika Anda atau anak Anda mengalami benturan pada kepala maupun tubuh. Terutama
ketika muncul gejala kehilangan kesadaran. Jika Anda sendiri yang mengalami
cedera, pastikan ada orang lain yang menemani Anda ke rumah sakit.
Diagnosis Trauma Kepala Berat
Setelah memastikan kondisi Anda
stabil, dokter atau pekerja medis akan menanyakan gejala, kondisi, serta
penyebab cedera kepala Anda pada orang yang mengantar Anda ke rumah sakit.
Deskripsi gejala serta kondisi Anda yang mendetail akan membantu dokter dalam
proses diagnosis. Atau dokter juga bisa bertanya kepada Anda sendiri, bila Anda
dalam keadaan sadar.
Tingkat keparahan trauma kepala yang Anda alami
akan dievaluasi oleh dokter melalui standar internasional yang disebut Glasgow
Coma Scale (GCS). Ini adalah skala yang mengukur kesadaran penderita dengan
melihat responsnya terhadap berbagai rangsangan. Dalam proses ini, ada beberapa
faktor yang dijadikan dasar evaluasi, yaitu gerakan, respons verbal, dan
kemampuan Anda untuk membuka mata. Skala tertinggi di angka 15, artinya
seseorang dalam kesadaran penuh dan tanggap dalam merespons rangsang. Skala
terburuk di angka 3, artinya seseorang dalam keadaan koma yang dalam sehingga
tidak memberikan respons dengan membuka mata, berbicara, dan bergerak. Jika
nilai kondisi Anda berada di bawah angka delapan, Anda akan dianggap mengalami
trauma kepala yang berat.
Dokter juga akan menganjurkan pemeriksaan
kondisi otak Anda dengan CT atau MRI scan jika
dibutuhkan. Anda biasanya akan diminta untuk menjalani opname di rumah sakit
apabila ditemukan masalah pada hasil pemindaian tersebut, gejala yang dialami
tidak berkurang, Anda mengonsumsi alkohol atau obat-obatan terlarang sebelum
atau saat mengalami cedera, atau tidak ada yang mengawasi Anda di rumah.
Pengobatan Trauma
Kepala Berat
Trauma
kepala berat umumnya membutuhkan penanganan di rumah sakit. Dokter atau pekerja
medis akan memantau perkembangan pasien secara berkala setiap setengah jam
hingga pasien benar-benar sadar dan awas. Pemantauan ini dilakukan dengan
memeriksa:
·
Tingkat kesadaran.
·
Ukuran dan reaksi pupil
mata terhadap cahaya.
·
Kemampuan koordinasi
tangan dan kaki.
·
Pernapasan.
·
Detak jantung.
·
Tekanan darah.
·
Suhu tubuh.
·
Kadar oksigen dalam
darah.
Jika
kondisi pasien mengalami penurunan, dokter akan kembali menganjurkan CT scan guna
mengecek kondisi otaknya. Dokter juga mungkin akan memasang monitor tekanan
intrakranial. Alat ini berfungsi mengukur tekanan dalam otak pasien untuk
mendeteksi tanda-tanda perdarahan di dalam tengkorak.
Operasi
kraniotomi akan dianjurkan oleh dokter apabila:
·
Terdapat perdarahan dan pembekuan darah di lapisan pembungkus
dan jaringan otak
·
Memar pada jaringan otak yang dapat berkembang menjadi sumbatan
pembuluh darah otak
·
Fraktur pada tengkorak.
Prosedur
ini bertujuan untuk meminimalisasi kerusakan jaringan otak.
Sebagian besar pengidap trauma kepala berat
membutuhkan rehabilitasi. Jenis rehabilitasi serta kombinasinya akan ditentukan
berdasarkan tingkat keparahan cedera dan dampaknya pada pengidap. Beberapa
jenis rehabilitasi yang biasa dijalani oleh pasien kondisi ini meliputi:
·
Terapi fisik untuk
membantu pasien kembali mempelajari
kemampuan mendasar, seperti berjalan.
·
Terapi okupasi yang akan
membantu pasien untuk menjalani kegiatan
sehari-hari termasuk melatih kemampuan bekerja.
·
Terapi bicara guna
mengatasi gangguan bicara dan komunikasi.
·
Terapi perilaku kognitif
yang membantu pasien untuk mengubah pola
pikir agar bisa beradaptasi dengan masalah
secara positif dan efektif.
·
Psikoterapi yang akan
membantu melegakan kekhawatiran dan
membuat kita lebih mengerti masalah yang
sebenarnya sekaligus
mengenali perasaan dan cara pikir pribadi.
·
Psikiatri dapat
memberikan obat-obatan dan rekomendasi perawatan
lain yang dapat mengembalikan kesehatan jiwa
pasien.
Komplikasi Trauma Kepala Berat
Trauma
kepala berat berpotensi menyebabkan komplikasi serius yang bahkan bisa
berakibat fatal. Semakin parah tingkat cedera otak yang dialami, tingkat
keseriusan komplikasi yang mungkin terjadi juga akan semakin meningkat.
Beberapa di antaranya adalah:
·
Perubahan
tingkat kesadaran, contohnya koma.
·
Infeksi. Fraktur tengkorak atau luka tusukan bisa
menyobek lapisan
jaringan pelindung otak (selaput otak) sehingga
bakteri bisa
memasuki otak dan menyebabkan infeksi.
·
Peningkatan
cairan serebrospinal. Kondisi ini akan
meningkatkan
tekanan di dalam rongga kepala dan pembengkakan
otak.
·
Kejang-kejang. Pengidap trauma kepala umumnya mengalami
kejang dalam minggu pertama setelah cedera.
Komplikasi ini juga
bisa terjadi berulang kali yang disebut epilepsi
pasca trauma.
·
Kerusakan
pembuluh darah. Komplikasi ini bisa
memicu stroke
serta penggumpalan darah.
·
Kerusakan
saraf, seperti kelumpuhan
otot wajah atau kerusakan
saraf mata.
·
Gangguan
intelektual, misalnya pada
kemampuan mengingat,
menyelesaikan masalah, berorganisasi, serta konsentrasi.
·
Gangguan
komunikasi, seperti kesulitan
bicara serta sulit
memahami tulisan.
·
Perubahan
tingkah laku serta emosi.
Contohnya, tidak bisa
mengendalikan diri, depresi, insomnia, dan
uring-uringan.
·
Perubahan
fungsi indera, misalnya kehilangan
indera penciuman
atau perasa.
2.8 Pemeriksaan Diagnostik
·
tes darah
·
x-ray - sebuah tes diagnostik yang
menggunakan terlihat balok energi elektromagnetik untuk menghasilkan gambar
dari jaringan internal tulang, dan organ ke film.
·
computed tomography scan (Juga disebut
CT atau CAT scan.) - sebuah prosedur pencitraan diagnostik yang menggunakan
kombinasi dari x-ray dan teknologi komputer untuk menghasilkan gambar penampang
(sering disebut iris), secara horisontal dan vertikal, dari tubuh. CT scan
menunjukkan gambar rinci dari setiap bagian tubuh, termasuk tulang, otot,
lemak, dan organ. CT scan lebih rinci daripada umum x-ray.
·
electroencephalogram (EEG) - sebuah
prosedur yang mencatat terus menerus, aktivitas listrik otak melalui elektroda
menempel pada kulit kepala.
·
magnetic resonance imaging (MRI) -
sebuah prosedur diagnostik yang menggunakan kombinasi magnet besar,
radiofrequencies, dan komputer untuk menghasilkan gambar detil dari organ dan
struktur dalam tubuh.
·
Angiografi serebral : Menunjukan anomali
sirkulasi cerebral, seperti: perubahan jaringan otak sekunder menjadi udema,
perdarahan trauma Dan.
·
Serial EEG: Dapat melihat perkembangan
Gelombang Yang patologis
·
BAER: Mengoreksi Batas fungsi corteks
Dan otak Kecil
·
PET: Mendeteksi perubahan AKTIVITAS Metabolisme
otak
·
CSF, lumbal punksi: Dapat dilakukan jika
diduga terjadi perdarahan subarachnoid.
·
GDA: Mendeteksi keberadaan ventilasi
atau masalah pernapasan (oksigenisasi) jika terjadi peningkatan tekanan
intrakranial.
_____________________________________________________________________________
BTW Guys aku baru baca ternyata bab 3 dan dapus gak ada hahahaha, buat sendiri ajalah ya. Gampang koks~
Tidak ada komentar:
Posting Komentar